Jendela google

Google

Jumat, 14 September 2007

Minyak Pelumas dari Botol Plastik Bekas

Kategori Kimia Karbon
Minyak Pelumas dari Botol Plastik Bekas
Oleh Sandri Justiana, S.Si dan Budiyanti Dwi Hardanie, S.Si

Percayakah Anda jika suatu saat nanti botol plastik bekas dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan minyak pelumas untuk kendaraan bermotor? Jika tidak percaya, tanyakan saja pada Stephen J. Miller, Ph.D., seorang ilmuwan senior dan konsultan peneliti di Chevron. Bersama rekan-rekannya di Pusat penelitian Chevron Energy Technology Company, Richmond, California, Amerika Serikat dan University of Kentucky, ia berhasil mengubah limbah plastik menjadi minyak pelumas. Bagaimana caranya?

Sebagian besar penduduk di dunia memanfaatkan plastik dalam menjalankan aktivitasnya. Berdasarkan data Environmental Protection Agency (EPA) Amerika Serikat, pada tahun 2001, penduduk Amerika Serikat menggunakan sedikitnya 25 juta ton plastik setiap tahunnya. Belum ditambah pengguna plastik di negara lainnya. Bukan suatu yang mengherankan jika plastik banyak digunakan. Plastik memiliki banyak kelebihan dibandingkan bahan lainnya. Secara umum, plastik memiliki densitas yang rendah, bersifat isolasi terhadap listrik, mempunyai kekuatan mekanik yang bervariasi, ketahanan suhu terbatas, serta ketahanan bahan kimia yang bervariasi. Selain itu, plastik juga ringan, mudah dalam perancangan, dan biaya pembuatan murah.

Sayangnya, di balik segala kelebihannya, limbah plastik menimbulkan masalah bagi lingkungan. Penyebabnya tak lain sifat plastik yang tidak dapat diuraikan dalam tanah. Untuk mengatasinya, para pakar lingkungan dan ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu telah melakukan berbagai penelitian dan tindakan. Salah satunya dengan cara mendaur ulang limbah plastik. Namun, cara ini tidaklah terlalu efektif. Hanya sekitar 4% yang dapat didaur ulang, sisanya menggunung di tempat penampungan sampah.


Mungkinkah tumpukan sampah plastik ini dapat diubah menjadi minyak pelumas?

Masalah itulah yang mendasari Miller dan rekan-rekannya melakukan penelitian ini. Sebagian besar plastik yang digunakan masyarakat merupakan jenis plastik polietilena. Ada dua jenis polietilena, yaitu high density polyethylene (HDPE) dan low density polyethylene (LDPE). HDPE banyak digunakan sebagai botol plastik minuman, sedangkan LDPE untuk kantong plastik. Dalam penelitiannya yang akan dipublikasikan dalam Jurnal American Chemical Society bagian Energi dan Bahan Bakar (Energy and Fuel) edisi 20 Juli 2005, Miller memanaskan polietilena menggunakan metode pirolisis, lalu menyelidiki zat hasil pemanasan tersebut.

Ternyata, ketika polietilena dipanaskan akan terbentuk suatu senyawa hidrokarbon cair. Senyawa ini mempunyai bentuk mirip lilin (wax). Banyaknya plastik yang terurai adalah sekitar 60%, suatu jumlah yang cukup banyak. Struktur kimia yang dimiliki senyawa hidrokarbon cair mirip lilin ini memungkinkannya untuk diolah menjadi minyak pelumas berkualitas tinggi. Sekadar informasi, minyak pelumas yang saat ini beredar di pasaran berasal dari pengolahan minyak bumi. Minyak mentah (crude oil) hasil pengeboran minyak bumi di dasar bumi mengandung berbagai senyawa hidrokarbon dengan titik didih yang berbeda-beda. Kemudian, berbagai senyawa hidrokarbon yang terkandung dalam minyak mentah ini dipisahkan menggunakan teknik distilasi bertingkat (penyulingan) berdasarkan perbedaan titik didihnya. Selain bahan bakar, seperti bensin, solar, dan minyak tanah, penyulingan minyak mentah juga menghasilkan minyak pelumas. Sifat kimia senyawa hidrokarbon cair dari hasil pemanasan limbah plastik mirip dengan senyawa hidrokarbon yang terkandung dalam minyak mentah sehingga dapat diolah menjadi minyak pelumas. Pengubahan hidrokarbon cair hasil pirolisis limbah plastik menjadi minyak pelumas menggunakan metode hidroisomerisasi. Miller berharap minyak pelumas buatan ini dapat digunakan untuk kendaraan bermotor dengan kualitas yang sama dengan minyak bumi hasil penyulingan minyak mentah, ramah lingkungan, sekaligus ekonomis.

Sebenarnya, usaha pembuatan minyak sintetis dari senyawa hidrokarbon cair ini bukan suatu hal baru. Pada awal 1990-an, perusahaan Chevron telah mencoba mengubah senyawa hidrokarbon cair menjadi bahan bakar sintetis untuk tujuan komersial. Hanya saja bahan baku yang digunakan untuk menghasilkan senyawa hidrokarbon cair berasal dari gas alam (umumnya gas metana) melalui proses katalitik yang dikenal dengan nama proses Fischer-Tropsch.

Pada proses Fischer-Tropsch ini, gas metana diubah menjadi gas sintesis (syngas), yaitu campuran antara gas hidrogen dan karbon monoksida, dengan bantuan besi atau kobalt sebagai katalis. Selanjutnya, syngas ini diubah menjadi senyawa hidrokarbon cair, untuk kemudian diolah menggunakan proses hydrocracking menjadi bahan bakar dan produk minyak bumi lainnya, termasuk minyak pelumas. Senyawa hidrokarbon cair hasil pengubahan dari syngas mempunyai sifat kimia yang sama dengan polietilena.

Gas alam yang digunakan berasal dari Amerika Serikat. Belakangan, daerah lepas laut Timur Tengah menjadi sumber gas alam karena di sana harga gas alam lebih murah. Minyak pelumas dari gas alam ini untuk sementara dapat menjadi alternatif minyak pelumas hasil pengolahan minyak bumi. Pada masa mendatang, cadangan gas alam di dunia diperkirakan akan segera menipis. Di lain pihak, kebutuhan akan minyak pelumas semakin tinggi. Kini, dengan adanya penemuan ini, pembuatan minyak pelumas nampaknya tidak lagi memerlukan gas alam. Cukup dengan memanfaatkan limbah botol plastik, jadilah minyak pelumas. Tertarik mencoba?

Biochemistry

History of biochemistry

Originally, it was generally believed that life was not subject to the laws of science the way non-life was. It was thought that only living beings could produce the molecules of life (from other, previously existing biomolecules). Then, in 1828, Friedrich Wöhler published a paper on the synthesis of urea, proving that organic compounds can be created artificially.[1][2] The dawn of biochemistry may have been the discovery of the first enzyme, diastase (today called amylase), in 1833 by Anselme Payen. Eduard Buchner contributed the first demonstration of a complex biochemical process outside of a cell in 1896: alcoholic fermentation in cell extracts of yeast. Although the term “biochemistry” seems to have been first used in 1882, it is generally accepted that the formal coinage of biochemistry occurred in 1903 by Carl Neuberg, a German chemist. Previously, this area would have been referred to as physiological chemistry. Since then, biochemistry has advanced, especially since the mid-20th century, with the development of new techniques such as chromatography, X-ray diffraction, NMR spectroscopy, radioisotopic labeling, electron microscopy and molecular dynamics simulations. These techniques allowed for the discovery and detailed analysis of many molecules and metabolic pathways of the cell, such as glycolysis and the Krebs cycle (citric acid cycle).

Today, the findings of biochemistry are used in many areas, from genetics to molecular biology and from agriculture to medicine.

[edit] Carbohydrates

Main article: Carbohydrate

The function of carbohydrates includes energy storage and providing structure. Sugars are carbohydrates, but not all carbohydrates are sugars. There are more carbohydrates on Earth than any other known type of biomolecule.

[edit] Monosaccharides

The simplest type of carbohydrate is a monosaccharide, which among other properties contains carbon, hydrogen, and oxygen, mostly in a ratio of 1:2:1 (generalized formula CnH2nOn, where n is at least 3). Glucose, one of the most important carbohydrates, is an example of a monosaccharide. So is fructose, the sugar that gives fruits their sweet taste. Some carbohydrates (especially after condensation to oligo- and polysaccharides) contain less carbon relative to H and O, which still are present in 2:1 (H:O) ratio. Monosaccharides can be grouped into aldoses (having an aldehyde group at the end of the chain, e. g. glucose) and ketoses (having a keto group in their chain; e. g. fructose). Both aldoses and ketoses occur in an equilibrium between the open-chain forms and (starting with chain lengths of C4) cyclic forms. These are generated by bond formation between one of the hydroxyl groups of the sugar chain with the carbon of the aldehyde or keto group to form a hemiacetal bond. This leads to saturated five-membered (in furanoses) or six-membered (in pyranoses) heterocyclic rings containing one O as heteroatom.

[edit] Disaccharides

Sucrose: ordinary table sugar and probably the most familiar carbohydrate.
Sucrose: ordinary table sugar and probably the most familiar carbohydrate.

Two monosaccharides can be joined together using dehydration synthesis, in which a hydrogen atom is removed from the end of one molecule and a hydroxyl group (—OH) is removed from the other; the remaining residues are then attached at the sites from which the atoms were removed. The H—OH or H2O is then released as a molecule of water, hence the term dehydration. The new molecule, consisting of two monosaccharides, is called a disaccharide and is conjoined together by a glycosidic or ether bond. The reverse reaction can also occur, using a molecule of water to split up a disaccharide and break the glycosidic bond; this is termed hydrolysis. The most well-known disaccharide is sucrose, ordinary sugar (in scientific contexts, called table sugar or cane sugar to differentiate it from other sugars). Sucrose consists of a glucose molecule and a fructose molecule joined together. Another important disaccharide is lactose, consisting of a glucose molecule and a galactose molecule. As most humans age, the production of lactase, the enzyme that hydrolyzes lactose back into glucose and galactose, typically decreases. This results in lactase deficiency, also called lactose intolerance.

Sugar polymers are characterised by having reducing or non-reducing ends. A reducing end of a carbohydrate is a carbon atom which can be in equilibrium with the open-chain aldehyde or keto form. If the joining of monomers takes place at such a carbon atom, the free hydroxy group of the pyranose or furanose form is exchanged with an OH-side chain of another sugar, yielding a full acetal. This prevents opening of the chain to the aldehyde or keto form and renders the modified residue non-reducing. Lactose contains a reducing end at its glucose moiety, whereas the galactose moiety form a full acetal with the C4-OH group of glucose. Saccharose does not have a reducing end because of full acetal formation between the aldehyde carbon of glucose (C1) and the keto carbon of fructose (C2).

[edit] Oligosaccharides and polysaccharides

Cellulose as polymer of β-D-glucose
Cellulose as polymer of β-D-glucose

When a few (around three to six) monosaccharides are joined together, it is called an oligosaccharide (oligo- meaning "few"). These molecules tend to be used as markers and signals, as well as having some other uses.

Many monosaccharides joined together make a polysaccharide. They can be joined together in one long linear chain, or they may be branched. Two of the most common polysaccharides are cellulose and glycogen, both consisting of repeating glucose monomers.

  • Cellulose is made by plants and is an important structural component of their cell walls. Humans can neither manufacture nor digest it.
  • Glycogen, on the other hand, is an animal carbohydrate; humans use it as a form of energy storage.

[edit] Use of carbohydrates as an energy source

See also carbohydrate metabolism

Glucose is the major energy source in most life forms. For instance, polysaccharides are broken down into their monomers (glycogen phosphorylase removes glucose residues from glycogen). Disaccharides like lactose or sucrose are cleaved into their two component monosaccharides.

[edit] Glycolysis (anaerobic)

Glucose is mainly metabolized by a very important and ancient ten-step pathway called glycolysis, the net result of which is to break down one molecule of glucose into two molecules of pyruvate; this also produces a net two molecules of ATP, the energy currency of cells, along with two reducing equivalents in the form of converting NAD+ to NADH. This does not require oxygen; if no oxygen is available (or the cell cannot use oxygen), the NAD is restored by converting the pyruvate to lactate (e. g. in humans) or to ethanol plus carbon dioxide (e. g. in yeast). Other monosaccharides like galactose and fructose can be converted into intermediates of the glycolytic pathway.

[edit] Aerobic

In aerobic cells with sufficient oxygen, like most human cells, the pyruvate is further metabolized. It is irreversibly converted to acetyl-CoA, giving off one carbon atom as the waste product carbon dioxide, generating another reducing equivalent as NADH. The two molecules acetyl-CoA (from one molecule of glucose) then enter the citric acid cycle, producing two more molecules of ATP, six more NADH molecules and two reduced (ubi)quinones (via FADH2 as enzyme-bound cofactor), and releasing the remaining carbon atoms as carbon dioxide. The produced NADH and quinol molecules then feed into the enzyme complexes of the respiratory chain, an electron transport system transferring the electrons ultimately to oxygen and conserving the released energy in the form of a proton gradient over a membrane (inner mitochondrial membrane in eukaryotes). Thereby, oxygen is reduced to water and the original electron acceptors NAD+ and quinone are regenerated. This is why humans breathe in oxygen and breathe out carbon dioxide. The energy released from transferring the electrons from high-energy states in NADH and quinol is conserved first as proton gradient and converted to ATP via ATP synthase. This generates an additional 28 molecules of ATP (24 from the 8 NADH + 4 from the 2 quinols), totaling to 32 molecules of ATP conserved per degraded glucose (two from glycolysis + two from the citrate cycle). It is clear that using oxygen to completely oxidize glucose provides an organism with far more energy than any oxygen-independent metabolic feature, and this is thought to be the reason why complex life appeared only after Earth's atmosphere accumulated large amounts of oxygen.

[edit] Gluconeogenesis

Main article: Gluconeogenesis

In vertebrates, vigorously contracting skeletal muscles (during weightlifting or sprinting, for example) do not receive enough oxygen to meet the energy demand, and so they shift to anaerobic metabolism, converting glucose to lactate (lactic acid). The liver regenerates the glucose, using a process called gluconeogenesis. This process is not quite the opposite of glycolysis, and actually requires three times the amount of energy gained from glycolysis (six molecules of ATP are used, compared to the two gained in glycolysis). Analogous to the above reactions, the glucose produced can then undergo glycolysis in tissues that need energy, be stored as glycogen (or starch in plants), or be converted to other monosaccharides or joined into di- or oligosaccharides.

[edit] Proteins

Main article: Protein
A schematic of hemoglobin. The red and blue ribbons represent the protein globin; the green structures are the heme groups.
A schematic of hemoglobin. The red and blue ribbons represent the protein globin; the green structures are the heme groups.

Like carbohydrates, some proteins perform largely structural roles. For instance, movements of the proteins actin and myosin ultimately are responsible for the contraction of skeletal muscle. One property many proteins have is that they specifically bind to a certain molecule or class of molecules—they may be extremely selective in what they bind. Antibodies are an example of proteins that attach to one specific type of molecule. In fact, the enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), which uses antibodies, is currently one of the most sensitive tests modern medicine uses to detect various biomolecules. Probably the most important proteins, however, are the enzymes. These amazing molecules recognize specific reactant molecules called substrates; they then catalyze the reaction between them. By lowering the activation energy, the enzyme speeds up that reaction by a rate of 1011 or more: a reaction that would normally take over 3,000 years to complete spontaneously might take less than a second with an enzyme. The enzyme itself is not used up in the process, and is free to catalyze the same reaction with a new set of substrates. Using various modifiers, the activity of the enzyme can be regulated, enabling control of the biochemistry of the cell as a whole.

In essence, proteins are chains of amino acids. An amino acid consists of a carbon atom bound to four groups. One is an amino group, —NH2, and one is a carboxylic acid group, —COOH (although these exist as —NH3+ and —COO under physiologic conditions). The third is a simple hydrogen atom. The fourth is commonly denoted "—R" and is different for each amino acid. There are twenty standard amino acids. Some of these have functions by themselves or in a modified form; for instance, glutamate functions as an important neurotransmitter.

Generic amino acids (1) in neutral form, (2) as they exist physiologically, and (3) joined together as a dipeptide.
Generic amino acids (1) in neutral form, (2) as they exist physiologically, and (3) joined together as a dipeptide.

Amino acids can be joined together via a peptide bond. In this dehydration synthesis, a water molecule is removed and the peptide bond connects the nitrogen of one amino acid's amino group to the carbon of the other's carboxylic acid group. The resulting molecule is called a dipeptide, and short stretches of amino acids (usually, fewer than around thirty) are called peptides or polypeptides. Longer stretches merit the title proteins. As an example, the important blood serum protein albumin contains 585 amino acid residues.

The structure of proteins is traditionally described in a hierarchy of four levels. The primary structure of a protein simply consists of its linear sequence of amino acids; for instance, "alanine-glycine-tryptophan-serine-glutamate-asparagine-glycine-lysine-…". Secondary structure is concerned with local morphology. Some combinations of amino acids will tend to curl up in a coil called an α-helix or into a sheet called a β-sheet; some α-helixes can be seen in the hemoglobin schematic above. Tertiary structure is the entire three-dimensional shape of the protein. This shape is determined by the sequence of amino acids. In fact, a single change can change the entire structure. The β chain of hemoglobin contains 146 amino acid residues; substitution of the glutamate residue at position 6 with a valine residue changes the behavior of hemoglobin so much that it results in sickle-cell disease. Finally quaternary structure is concerned with the structure of a protein with multiple peptide subunits, like hemoglobin with its four subunits. Not all proteins have more than one subunit.

Ingested proteins are usually broken up into single amino acids or dipeptides in the small intestine, and then absorbed. They can then be joined together to make new proteins. Intermediate products of glycolysis, the citric acid cycle, and the pentose phosphate pathway can be used to make all twenty amino acids, and most bacteria and plants possess all the necessary enzymes to synthesize them. Humans and other mammals, however, can only synthesize half of them. They cannot synthesize isoleucine, leucine, lysine, methionine, phenylalanine, threonine, tryptophan, and valine. These are the essential amino acids, since it is essential to ingest them. Mammals do possess the enzymes to synthesize alanine, asparagine, aspartate, cysteine, glutamate, glutamine, glycine, proline, serine, and tyrosine, the nonessential amino acids. While they can synthesize arginine and histidine, they cannot produce it in sufficient amounts for young, growing animals, and so these are often considered essential amino acids.

If the amino group is removed from an amino acid, it leaves behind a carbon skeleton called an α-keto acid. Enzymes called transaminases can easily transfer the amino group from one amino acid (making it an α-keto acid) to another α-keto acid (making it an amino acid). This is important in the biosynthesis of amino acids, as for many of the pathways, intermediates from other biochemical pathways are converted to the α-keto acid skeleton, and then an amino group is added, often via transamination. The amino acids may then be linked together to make a protein.

A similar process is used to break down proteins. It is first hydrolyzed into its component amino acids. Free ammonia (NH3, existing as the ammonium ion NH4+) in blood) is toxic to life forms. A suitable method for excreting it must therefore exist. Different strategies have evolved in different animals, depending on the animals' needs. Unicellular organisms, of course, simply release the ammonia into the environment. Similarly, bony fish can release the ammonia into the water where it is quickly diluted. In general, mammals convert the ammonia into urea, via the urea cycle.

[edit] Lipids

Main article: Lipid

The term lipid comprises a diverse range of molecules and to some extent is a catchall for relatively water-insoluble or nonpolar compounds of biological origin, including waxes, fatty acids, fatty-acid derived phospholipids, sphingolipids, glycolipids and terpenoids (eg. retinoids and steroids). Some lipids are linear aliphatic molecules, while others have ring structures. Some are aromatic, while others are not. Some are flexible, while others are rigid.

Most lipids have some polar character in addition to being largely nonpolar. Generally, the bulk of their structure is nonpolar or hydrophobic ("water-fearing"), meaning that it does not interact well with polar solvents like water. Another part of their structure is polar or hydrophilic ("water-loving") and will tend to associate with polar solvents like water. This makes them amphiphilic molecules (having both hydrophobic and hydrophilic portions). In the case of cholesterol, the polar group is a mere -OH (hydroxyl or alcohol). In the case of phospholipids, the polar groups are considerably larger and more polar, as described below.

Lipids are an integral part of our daily diet. Most oils and milk products that we use for cooking and eating like butter, cheese, ghee etc, are comprised of fats. Vegetable oils are rich in various polyunsaturated fatty acids (PUFA). Lipid-containing foods undergo digestion within the body and are broken into fatty acids and glycerol, which are the final degradation products of fats and lipids.

[edit] Nucleic acids

Main article: Nucleic acid

A nucleic acid is a complex, high-molecular-weight biochemical macromolecule composed of nucleotide chains that convey genetic information. The most common nucleic acids are deoxyribonucleic acid (DNA) and ribonucleic acid (RNA). Nucleic acids are found in all living cells and viruses.

Nucleic acid, so called because of its prevalence in cellular nuclei, is the generic name of family of biopolymers. The monomers are called nucleotides, and each consists of three components: a nitrogenous heterocyclic base (either a purine or a pyrimidine), a pentose sugar, and a phosphate group. Different nucleic acid types differ in the specific sugar found in their chain (e.g. DNA or deoxyribonucleic acid contains 2-deoxyriboses). Also, the nitrogenous bases possible in the two nucleic acids are different: adenine, cytosine, and guanine are possible in both RNA and DNA, while thymine is possible only in DNA and uracil is possible only in RNA.

[edit] Relationship to other "molecular-scale" biological sciences

Schematic relationship between biochemistry, genetics and molecular biology
Schematic relationship between biochemistry, genetics and molecular biology

Researchers in biochemistry use specific techniques native to biochemistry, but increasingly combine these with techniques and ideas from genetics, molecular biology and biophysics. There has never been a hard-line between these disciplines in terms of content and technique, but members of each discipline have in the past been very territorial; today the terms molecular biology and biochemistry are nearly interchangeable. The following figure is a schematic that depicts one possible view of the relationship between the fields:

  • Biochemistry is the study of the chemical substances and vital processes occurring in living organisms.
  • Genetics is the study of the effect of genetic differences on organisms. Often this can be inferred by the absence of a normal component (e.g. one gene). The study of "mutants" – organisms which lack one or more functional components with respect to the so-called "wild type" or normal phenotype. Genetic interactions (epistasis) can often confound simple interpretations of such "knock-out" studies.
  • Molecular biology is the study of molecular underpinnings of the process of replication, transcription and translation of the genetic material. The central dogma of molecular biology where genetic material is transcribed into RNA and then translated into protein, despite being an oversimplified picture of molecular biology, still provides a good starting point for understanding the field. This picture, however, is undergoing revision in light of emerging novel roles for RNA.
  • Chemical Biology seeks to develop new tools based on small molecules that allow minimal perturbation of biological systems while providing detailed information about their function. Further, chemical biology employs biological systems to create non-natural hybrids between biomolecules and synthetic devices (for example emptied viral capsids that can deliver gene therapy or drug molecules).

Klorofil sebagai darah hijau manusia

Kategori Biokimia
Klorofil sebagai Darah Hijau Manusia
Oleh Sinly Evan Putra dan Saiful Bahri
Jurusan Kimia FMIPA Universitas Lampung




Jika kita amati lebih lanjut dalam tingkatan struktur kimiawi, akan kita jumpai keunikan dari klorofil. Ternyata struktur dari klorofil memiliki kesamaan struktur dengan hemoglobin. Perbedaannya hanyalah terletak pada atom pusat dari molekul. Atom pusat klorofil adalah magnesium (Mg) sedangkan atom pusat hemoglobin adalah besi (Fe). Jika hemoglobin diidentikan sebagai darah merah manusia, maka klorofil dapat diidentikan sebagai darah hijau manusia. Karena kemiripan struktur inilah, maka klorofil adalah satu-satunya molekul di dunia ini yang secara alamiah dapat diterima oleh tubuh dan menjadi nutrisi vital bagi tubuh manusia.



Dalam proses metabolisme, energi bagi manusia datang dari sel-sel darah merah yang membawa oksigen ke dalam sel-sel tubuh. Hemoglobin merupakan molekul dalam sel darah merah yang membawa oksigen. Adapun klorofil adalah pembentuk sel darah merah yang paling cepat di dalam tubuh manusia. Dengan mengkonsumsi klorofil, jumlah sel darah dapat meningkat sangat cepat sehingga pasokan energi dalam tubuh dapat terus menerus terjamin. Dalam bukunya, The Healing Power of Chlorophyll Bernard Jensen menegaskan berbagai hasil eksperimen dengan tikus, dimana darah tikus digantikan dengan klorofil, hasilnya klorofil tetap dapat menjaga kelangsungan hidup tikus-tikus tersebut. Tim O’Shea dalam bukunya The Sancity of Human Blood juga menegaskan bahwa klorofil merupakan satu-satunya molekul yang dapat diterima oleh tubuh karena kesamaannya dengan hemoglobin sehingga potensial dalam meningkatkan ketahanan tubuh manusia.

Fungsi Utama Klorofil
Penggunaan klorofil bagi tubuh manusia dapat membantu dalam hal (1) meningkatkan jumlah sel-sel darah, khususnya meningkatkan produksi hemoglobin dalam darah, (2) mengatasi anemia, (3) membersihkan jaringan tubuh, (4) membersihkan hati dan membantu fungsi hati, (5) meningkatkan daya tahan tubuh terhadap senyawa asing (virus, bakteri, parasit), (6) memperkuat sel, dan (7) melindungi DNA terhadap kerusakan. Yang terpenting dari molekul klorofil adalah aman terhadap tubuh.

Selain itu, klorofil juga berfungsi sebagai desinfektan dan antibiotik, bahkan sebelum adanya obat-obatan sintesis. Klorofil membersihkan jaringan-jaringan tubuh dan tempat pembuangan sisa limbah metabolisme dalam tubuh, sekaligus mengatasi parasit, bakteri, dan virus yang ada dalam tubuh manusia. Bahkan, klorofil dapat menghilangkan senyawa-senyawa kimia yang bersifat racun dalam tubuh. Ekor molekul klorofil yang bersifat hidrofobik dapat menggali ke dalam sel/jaringan dan mengangkat senyawa hidrokarbon dari dinding sel serta mengeluarkan senyawa beracun tersebut. Hidrokarbon yang dimaksud adalah pestisida, obat-obatan yang tertimbun dalam tubuh, pewarna makanan, bahkan bakteri, parasit, dan virus. Ann Wigmore dalam buku The Wheatgrass Book, 1985 menyatakan bahwa klorofil dapat melindungi kita dari senyawa-senyawa karsinogen, dimana makanan dan obat lainnya sudah tidak berfungsi lagi. Klorofil bertindak menguatkan sel-sel, melepaskan zat racun dari hati dan aliran darah dan secara kimiawi menetralisasi polutan-polutan.

Perkembangan Terbaru Aplikasi Klorofil
Mengingat serangan virus dengue yang menyebabkan gejala-gejala pendarahan dan menurunnya jumlah trombosit, pengobatan dengan klorofil selayaknya dilirik sebagai upaya alternatif bagi pengobatan demam berdarah. Dari sisi pencegahan, mengkonsumsi klorofil merupakan tindakan bijaksana dalam meningkatkan pertahanan tubuh sehingga memungkinkan kita melawan benda asing yang masuk ke dalam tubuh, tak terkecuali virus dengue. Sirkulasi darah yang bersih dan kaya akan sel darah merah merupakan mekanisme pertahanan tubuh alamiah yang paling andal. Sebenarnya alam telah menyediakan sumber-sumber klorofil yang dapat dikonsumsi. Caranya adalah dengan mengkonsumsi secara rutin sayuran hijau yang kaya klorofil setiap hari. Katuk merupakan tumbuhan lokal asli Indonesia yang kaya akan klorofil.

Meskipun secara alami, klorofil dapat langsung dicerna, tetapi riset terkini tentang klorofil, menyatakan bahwa klorofil murni yang terkena proses pengolahan (dimasak) akan rusak fungsi utamanya. Klorofil yang terolah tersebut akan sulit diserap oleh tubuh manusia, bahkan sebagian besar akan terbuang dalam sistem pembuangan. Sehingga disini sangat dianjurkan bagi penderita untuk mengkonsumsi sayur-sayuran segar tanpa diolah. Tetapi untuk penderita yang benar-benar butuh klorofil, dengan memanfaatkan teknologi tinggi, pengekstrakan klorofil dapat dilakukan sebelum terjadi penurunan mutu dan fungsi utamanya. Yaitu dengan menambahkan atom magnesium di dalam molekul bersama atom tembaga dan atom-atom natrium, sehingga molekul klorofil bisa larut dalam air dan menjadi stabil. Penambahan atom-atom baru tersebut menghasilkan struktur kimia baru yang disebut Chlorophyllin.Chlorophyllin ini telah diperdagangkan dengan berbagai merk dagang baik dalam bentuk tablet, kapsul, maupun cairan.

Selain berpotensi sebagai obat demam berdarah, klorofil juga berpotensi sebagai photosensitizer (obat pemicu yang aktif oleh rangsangan cahaya) untuk terapi tumor dan kanker. Obat seperti ini bukan barang baru, karena telah diterapkan dalam terapi fotodinamika (photodynamic therapy). Di Jepang, Jerman, dan Amerika Serikat, tehnik ini sudah dipakai untuk menanggani kanker seperti kanker otak, paru-paru, dan mulut. Terapi fotodinamika menjadi alternatif yang lebih aman ketimbang terapi gelombang radio dan kemoterapi, yang sering disertai efek samping seperti kerontokan rambut dan rusaknya kulit. Tak seperti kemoterapi yang butuh selang waktu antar pemberian, terapi fotodinamika dapat dilakukan lebih sering dalam kurun waktu tertentu.

Pemanfaatan teknologi fotodinamika (TFD) ini pada dasarnya didasarkan asumsi bahwa photosensitizer (klorofil) akan dapat membunuh sel-sel kanker ketika senyawa tersebut diekspos dengan cahaya tampak pada panjang gelombang tertentu (630-800 nm) dan dengan intensitas tertentu. Dalam pengaplikasiannya, klorofil diinjeksikan ke tubuh, yang kemudian diserap secara otomatis oleh seluruh sel. Klorofil yang berperan sebagai photosensitizer akan terakumulasi dalam sel kanker dan tinggal lebih lama dalam sel tersebut jika dibandingkan dengan keberadaannya di dalam sel normal. Untuk mendeteksi keberadaan klorofil dalam sel kanker, pasien yang telah diberi obat dipindai. Bagian yang terdapat klorofil akan berpendar terang.

Mekanisme kerja klorofil sebagai sensitizer adalah dengan menjadi pemicu spesies oksigen menjadi singlet oksigen yang sangat reaktif yang akan membunuh sel kanker. Prosesnya adalah ketika photosensitizer mengabsorbsi cahaya, maka photosensitizer akan tereksitasi pada keadaan singlet. Keadaan ini tidak berlangsung lama, photosensitizer akan berubah ke keadaan triplet. Photosensitizer pada keadaan triplet ini akan bereaksi dengan oksigen yang tentunya ada dalam jaringan tubuh manusia, termasuk dalam jaringan kanker. Oksigen dalam keadaan dasar akan tereksitasi menjadi singlet oksigen yang bersifat sangat reaktif yang selanjutnya akan menghancurkan sel-sel kanker. Pada akhirnya, photosensitizer yang telah menunaikan tugasnya tersebut akan kembali ke keadaan normal.

Penutup
Penelitian tentang klorofil kedepannya diperkirakan masih akan berlangsung terutama untuk aplikasi lebih lanjut di bidang kesehatan. Hal ini didasarkan kenyataan bahwa klorofil merupakan senyawa bahan alam yang melimpah dan tidak bersifat racun sebagaimana obat-obat kimiawi yang telah umum digunakan. Selain itu pemanfaatan klorofil dari bakteri fotosintetis (bakterioklorofil) untuk aplikasi sebagai obat kanker sebagaimana telah diteliti oleh Leenawaty Limantara masih menemui hambatan. Dimana dalam penelitian bakterioklorofil terdapat tiga tahapan elektronik yang penting yaitu tahapan dasar, radikal kation, dan tahapan tereksistasi. Selama ini penelitian di dunia mentok pada tahapan tereksistasi karena pada tahap ini, masa hidup molekul sangat singkat yaitu pada tataran pikodetik (10-9 detik) sehingga sangat sulit mengukur molekulnya yang sangat labil meskipun gambarnya dapat diperoleh.

Sisi positif yang dapat kita peroleh dari pemanfaatan klorofil adalah arti penting kembali ke alam (back to nature) yaitu dengan kembali mengkonsumsi makanan alami yang dihasilkan oleh alam. Ternyata alam telah menyediakan obat yang mujarab bagi kita untuk kelangsungan hidup. Mungkin suatu pertanyaan menarik pernah dilontarkan oleh dosen saya yaitu kenapa obat-obatan sintetis sering menimbulkan efek samping dibandingkan obat-obatan alami? Jawabnya karena dalam obat sintetis kita hanya mengisolasi senyawa bioaktif (senyawa toksik) saja yang efektif sebagai antipenyakit dari tanaman tanpa mengambil senyawa antitoksiknya (penetral) sedangkan obat alami telah menyediakan sekaligus dua yaitu senyawa toksik dan antitoksiknya.

Supermolekul yang mampu merakit diri sendiri

Kategori Nanoteknologi
Supermolekul yang Mampu Merakit Diri Sendiri
Sumber: © 1998 Peregrine Publishers, Inc., All Rights Reserved

Atom-atom dalam satu molekul saling terikat satu sama lain oleh ikatan ion dan ikatan kovalen, sedangkan molekul-molekul terikat, walaupun lebih lemah, secara nonkovalen oleh gaya-gaya intermolekuler. Gaya-gaya ini dapat diklasifikasikan menjadi:
1. Ikatan hidrogen
2. Interaksi muatan-muatan dan interaksi muatan-dipol
3. Gaya-gaya van der Waals yang bersifat saling menarik

Alam mengandung banyak sekali supermolekul yang terdiri atas molekul-molekul yang menyusun dirinya sendiri. Pada supermolekul ini, komponen-komponen molekuler diikat satu sama lain oleh ketiga jenis gaya ini. Misalnya, kedua untaian heliks ganda dari DNA saling terikat satu sama lain oleh ikatan hidrogen antara pasangan-pasangan basa di kedua untaian (basa dari untaian yang satu berikatan hidrogen dengan basa dari untaian lainnya) dan juga saling terikat oleh interaksi tarik-menarik van der Walls (sering disebut sebagai "stacking interactions") antara pasangan basa yang bersebelahan. Contoh lainnya, mantel dari partikel virus merupakan agregat dari protein-protein berukuran kecil yang terikat satu sama lain terutama oleh gaya-gaya nonkovalen. Mantel ini merupakan objek tiga dimensi tertutup dan pada banyak partikel virus memiliki keindahan dan simetri yang begitu mempesona.

Para kimiawan berusaha mencari tahu apakah mereka mampu menaklukkan gaya-gaya tersebut untuk menghasilkan supermolekul desainer-rakitan diskrit dan besar dari molekul-molekul yang lebih kecil-yang mampu membentuk dan menyusun dirinya sendiri secara spontan dari komponen-komponen penyusunnya. Saat ini, banyak penelitian dilakukan untuk mengeksplorasi ide-ide seperti ini.

Salah satu di antaranya adalah kelompok peneliti dari Universities of Nothingham and York, Inggris. Kelompok tersebut baru-baru ini mendesain sebuah molekul yang akan berfungsi sebagai sudut di dalam sebuah agregat heksagonal (bersegi enam) berikatan hidrogen. Senyawa mereka merupakan "basa hibrida" yang di satu sisi memasukkan pola ikatan hidrogen akseptor-akseptor-donor dari basa sitosin dan di sisi lain memasukkan pola ikatan hidrogen donor-donor-akseptor dari basa guanin (lihat gambar di bawah). Sitosin dan guanin merupakan dua basa yang terdapat dalam DNA.



Yang sangat penting dalam hal ini adalah ikatan-ikatan hidrogen pada sisi-sisi yang berbeda membentuk sudut 120o satu sama lain (lihat gambar di bawah).



Ini berarti bahwa agregat heksagonal dari enam molekul berikatan hidrogen akan terbentuk secara spontan. Preparasi senyawa ini dalam penelitian tersebut menghasilkan kristal-kristal yang setelah diperiksa pdengan kristalografi sinar-X ternyata terdiri dari agregat-agregat yang sama dengan yang telah diprediksi sebelumnya (lihat gambar di bawah).



Larik (array) heksagonal ini mengandung lubang atau kanal/saluran besar (lihat gambar di atas). Melalui saluran ini, molekul-molekul pelarut dapat berdifusi secara bebas. Saluran ini terbentuk sepanjang keseluruhan kristal. Akibat dari adanya saluran besar ini, densitas kristal menjadi sangat rendah.

Contoh lain yang sedikit berbeda adalah supermolekul yang melibatkan senyawa-senyawa yang antara lain terdiri dari senyawa siklik. Senyawa siklik ini secara spontan terjalin melingkari seutas rantai panjang (sebagai analogi, bayangkan cincin yang dimasukkan ke jari). Senyawa-senyawa ini secara umum disebut dengan rotaxanes dan pseudorotaxanes. Professor J. Fraser Stoddart dan rekan-rekannya dari University of Birmingham, Inggris, telah menyelidiki keluarga senyawa ini secara sistematis. Gambaran pekerjaan mereka, berikut beberapa model Chemscape Chime, dapat dilihat di http://www.chem.ucla.edu/dept/Faculty/stoddart/research.htm.
Salah satu contoh spektakuler dari tipe senyawa ini adalah sebuah supermolekul yang dikenal sebagai "[3 + 2] adduct" (lihat gambar di bawah). Supermolekul ini dibentuk oleh dua molekul senyawa 1 dan tiga molekul senyawa 2. Seperti ditunjukkan dalam gambar, molekul siklik 2 berfungsi sebagai "sabuk" molekuler untuk mengikat tangan-tangan kedua molekul 1.



Struktur pada gambar di bawah ini menunjukkan model ruang dari [3 + 2] adduct yang dilihat dari atas sehingga hanya satu lapisan yang tampak.



Adduct ini terbentuk oleh ikatan hidrogen antara hidrogen dari grup N-H pada senyawa 1 dan elektron yang tak digunakan untuk berikatan dari atom oksigen pada senyawa 2. Tim ilmuwan ini menduga gaya tarik-menarik van der Waals antara kedua lapisan juga ikut berperan.

Contoh menarik lainnya dari bidang ini adalah polimer pseudorotaxane "dua dimensi". Pada polimer ini, senyawa siklik menjalin diri menjadi jaringan polimer koordinasi dua dimensi.
Bagaimana supermolekul di masa depan? Harapan yang ada sekarang adalah bahwa prinsip-prinsip yang dapat dipelajari dari desain supermolekul yang diketahui saat ini akan memungkinkan para ilmuwan untuk merancang, antara lain, reseptor molekuler dan saluran yang bersifat selektif-molekul.

Alga laut biotarget industri

ategori Berita
Alga Laut sebagai Biotarget Industri
Oleh Sinly Evan Putra
Asisten II Sekretaris Jenderal Ikatan Himpunan Mahasiswa Kimia Indonesia


Indonesia telah dikenal luas sebagai negara kepulauan yang 2/3 wilayahnya adalah lautan dan mempunyai garis pantai terpanjang di dunia yaitu ± 80.791,42 Km. Didalam lautan terdapat bermacam-macam mahluk hidup baik berupa tumbuhan air maupun hewan air. Salah satu mahluk hidup yang tumbuh dan berkembang di laut adalah alga.

Ditinjau secara biologi, alga merupakan kelompok tumbuhan yang berklorofil yang terdiri dari satu atau banyak sel dan berbentuk koloni. Didalam alga terkandung bahan-bahan organik seperti polisakarida, hormon, vitamin, mineral dan juga senyawa bioaktif. Sejauh ini, pemanfaatan alga sebagai komoditi perdagangan atau bahan baku industri masih relatif kecil jika dibandingkan dengan keanekaragaman jenis alga yang ada di Indonesia. Padahal komponen kimiawi yang terdapat dalam alga sangat bermanfaat bagi bahan baku industri makanan, kosmetik, farmasi dan lain-lain.

Berbagai jenis alga seperti Griffithsia, Ulva, Enteromorpna, Gracilaria, Euchema, dan Kappaphycus telah dikenal luas sebagai sumber makanan seperti salad rumput laut atau sumber potensial karagenan yang dibutuhkan oleh industri gel. Begitupun dengan Sargassum, Chlorela/Nannochloropsis yang telah dimanfaatkan sebagai adsorben logam berat, Osmundaria, Hypnea, dan Gelidium sebagai sumber senyawa bioaktif, Laminariales atau Kelp dan Sargassum Muticum yang mengandung senyawa alginat yang berguna dalam industri farmasi. Pemanfaatan berbagai jenis alga yang lain adalah sebagai penghasil bioetanol dan biodiesel ataupun sebagai pupuk organik.

Alga Laut sebagai Sumber Makanan
Kandungan bahan-bahan organik yang terdapat dalam alga merupakan sumber mineral dan vitamin untuk agar-agar, salad rumput laut maupun agarose. Agarose merupakan jenis agar yang digunakan dalam percobaan dan penelitian dibidang bioteknologi dan mikrobiologi.

Potensi alga sebagai sumber makanan (terutama rumput laut), di Indonesia telah dimanfaatkan secara komersial dan secara intensif telah dibudidayakan terutama dengan tehnik polikultur (kombinasi ikan dan rumput laut).

Alga Laut sebagai Adsorben Logam Berat
Pemanfaatan sistem adsorpsi untuk pengambilan logam-logam berat dari perairan telah banyak dilakukan. Beberapa spesies alga telah ditemukan mempunyai kemampuan yang cukup tinggi untuk mengadsorpsi ion-ion logam, baik dalam keadaan hidup maupun dalam bentuk sel mati (biomassa). Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa gugus fungsi yang terdapat dalam alga mampu melakukan pengikatan dengan ion logam. Gugus fungsi tersebut terutama adalah gugus karboksil, hidroksil, sulfudril, amino, iomodazol, sulfat, dan sulfonat yang terdapat didalam dinding sel dalam sitoplasma.

Menurut Harris dan Ramelow (1990), kemampuan alga dalam menyerap ion-ion logam sangat dibatasi oleh beberapa kelemahan seperti ukurannya yang sangat kecil, berat jenisnya yang rendah dan mudah rusak karena degradasi oleh mikroorganisme lain. Untuk mengatasi kelemahan tersebut berbagai upaya dilakukan, diantaranya dengan mengimmobilisasi biomassanya. Immobilisasi biomassa dapat dilakukan dengan mengunakan (1) Matrik polimer seperti polietilena glikol, akrilat, (2) oksida (oxides) seperti alumina, silika, (3) campuran oksida (mixed oxides) seperti kristal aluminasilikat, asam polihetero, dan (4) Karbon.

Berbagai mekanisme yang berbeda telah dipostulasikan untuk ikatan antara logam dengan alga/biomassa seperti pertukaran ion, pembentukan kompleks koordinasi, penyerapan secara fisik, dan pengendapan mikro. Tetapi hasil penelitian akhir-akhir ini menunjukan bahwa mekanisme pertukaran ion adalah yang lebih dominan. Hal ini dimungkinkan karena adanya gugus aktif dari alga/biomassa seperti karboksil, sulfat, sulfonat dan amina yang akan berikatan dengan ion logam.

Alga Laut sebagai Sumber Senyawa Bioaktif
Alga hijau, alga merah ataupun alga coklat merupakan sumber potensial senyawa bioaktif yang sangat bermanfaat bagi pengembangan (1) industri farmasi seperti sebagai anti bakteri, anti tumor, anti kanker atau sebagai reversal agent dan (2) industri agrokimia terutama untuk antifeedant, fungisida dan herbisida.
Kemampuan alga untuk memproduksi metabolit sekunder terhalogenasi yang bersifat sebagai senyawa bioaktif dimungkinkan terjadi, karena kondisi lingkungan hidup alga yang ekstrem seperti salinitas yang tinggi atau akan digunakan untuk mempertahankan diri dari ancaman predator. Dalam dekade terakhir ini, berbagai variasi struktur senyawa bioaktif yang sangat unik dari isolat alga merah telah berhasil diisolasi. Namun pemanfaatan sumber bahan bioaktif dari alga belum banyak dilakukan. Berdasarkan proses biosintesisnya, alga laut kaya akan senyawa turunan dari oksidasi asam lemak yang disebut oxylipin. Melalui senyawa ini berbagai jenis senyawa metabolit sekunder diproduksi.

Alga Laut sebagai Sumber Senyawa Alginat
Alginat merupakan konstituen dari dinding sel pada alga yang banyak dijumpai pada alga coklat (Phaeophycota). Senyawa ini merupakan heteropolisakarida dari hasil pembentukan rantai monomer mannuronic acid dan gulunoric acid. Kandungan alginat dalam alga tergantung pada jenis alganya. Kandungan terbesar alginat (30-40 % berat kering) dapat diperoleh dari jenis Laminariales sedangkan Sargassum Muticum, hanya mengandung 16-18 % berat kering.

Pemanfaatan senyawa alginat didunia industri telah banyak dilakukan seperti natrium alginat dimanfaatkan oleh industri tektil untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas bahan industri, kalsium alginat digunakan dalam pembuatan obat-obatan. Senyawa alginat juga banyak digunakan dalam produk susu dan makanan yang dibekukan untuk mencegah pembentukan kristal es. Dalam industri farmasi, alginat digunakan sebagai bahan pembuatan pelapis kapsul dan tablet. Alginat juga digunakan dalam pembuatan bahan biomaterial untuk tehnik pengobatan seperti micro-encapsulation dan cell transplantation.

Alga Laut sebagai Penghasil Bioetanol dan Biodiesel
Meskipun masih dalam tahap riset yang mendalam, potensi alga laut sebagai penghasil bioetanol dan biodiesel sangat menjanjikan dimasa mendatang. Negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang dan Kanada mentargetkan mulai tahun 2025 bahan bakar hayati (biofuel) bisa diproduksi dari budidaya cepat alga mikro yang tumbuh diperairan tawar/asin. Keuntungan lebih yang dapat diperoleh adalah tak butuh traktor seperti didarat, tanpa penyemaian benih, gas CO2 yang dihasilkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar dan panen yang terus-terusan (continuous) yang dikarenakan waktu tanam alga hanya 1 minggu.

Berikut adalah gambar skenario mekanisme pembuatan bioetanol dan biodiesel dari alga laut.


Sumber : Tatang H. Soerawidjaja (2005)

Alga Laut sebagai Pupuk Organik
Dikarenakan kandungan kimiawi yang terdapat dalam alga laut merupakan nutrien yang sangat penting bagi semua mahluk hidup termasuk tumbuh-tumbuhan, maka alga laut dapat dimanfaatkan sebagai sumber alternatif penganti pupuk-pupuk pertanian yang mengandung bahan kimia sintesis.

Alga dapat digunakan sebagai pupuk organik karena mengandung bahan-bahan mineral seperti potasium dan hormon seperti auxin dan sytokinin yang dapat meningkatkan daya tumbuh tanaman untuk tumbuh, berbunga dan berbuah. Pemanfaatan alga sebagai pupuk organik ditunjang pula oleh adanya sifat hydrocolloids pada alga laut yang dapat dimanfaatkan untuk penyerapan air (daya serap tinggi) dan menjadi substrat yang baik untuk mikroorganisme tanah.

Penutup
Indonesia adalah negara yang mempunyai garis pantai terpanjang di dunia yaitu ± 80.791,42 Km. Disepanjang garis pantai, tumbuh dan berkembang berbagai jenis alga laut yang berpotensi sebagai biotarget industri. Berbagai riset mutlak dilakukan untuk pemanfaatan secara optimal kekayaan hayati ini secara berkelanjutan. Riset-riset kimiawan terutama dituntut untuk mencari bahan baku industri, senyawa bioaktif, pengembangan produk-produk turunan berbasis alga, dan mempelajari misteri dan keunikan-keunikan alga dalam hubungannya sebagai bagian dari ekosistem.

UNSUR KALIUM

Kategori Tabel Periodik
Kalium
Oleh Yulianto Mohsin

Sejarah
(Latin: calx, kapur) Walau kapur telah digunakan oleh orang-orang Romawi di abad kesatu, logam kalsium belum ditemukan sampai tahun 1808. Setelah mempelajari Berzelius dan Pontin berhasil mempersiapkan campuran air raksa dengan kalsium (amalgam) dengan cara mengelektrolisis kapur di dalam air raksa, Davy berhasil mengisolasi unsur ini walau bukan logam kalsium murni.

Sumber-sumber
Kalsium adalah logam metalik, unsur kelima terbanyak di kerak bumi. Unsur ini merupakan bahan baku utama dedaunan, tulang belulang, gigi dan kerang dan kulit telur. Kalsium tidak pernah ditemukan di alam tanpa terkombinasi dengan unsur lainnya. Ia banyak terdapat sebagai batu kapur, gipsum, dan fluorite. Apatite merupakan flurofosfat atau klorofosfat kalsium.

Kegunaan
Logam in digunakan sebagai agen pereduksi dalam mempersiapkan logam-logam lain semacam torium, uranium, zirkonium, dsb. Ia juga digunakan sebagai bahan reaksi deoksida dan desulfurizer atau decarburizer untuk berbagai macam campuran logam besi dan non-besi. Elemen ini juga digunakan sebagai agen pencampur logam aluminium, berilium, tembaga, timbal, dan campuran logam magnesium.

Senyawa
Senyawa alami dan senyawa buatan kalsium banyak sekali kegunaannya. Kapur mentah (CaO) merupakan basis untuk tempat penyaringan kimia dengan banyak kegunaan. Jika dicampur dengan pasir, ia akan mengeras menjadi campuran plester dengan mengambil karbon dioksida dari udara. Kalsium dari batu kapur juga merupakan unsur penting semen. Senyawa-senyawa penting lainnya adalah: karbid, klorida, sianamida, hipoklorida, dan sulfida.

BATERAI LAPTOP TANPA CHARGER

Kategori Berita
Direct Methanol Fuel Cell (DMFC)
Baterai Laptop tanpa Charger

Oleh Viko Ladelta

Direct methanol fuel cell (DMFC) merupakan salah satu dari beberapa jenis sel bahan bakar yang menggunakan membran penukar proton (proton exchange membrane (PEM)) sebagai penghubung antara reaksi di katoda dan anoda. Sesuai namanya, membran ini menggunakan metanol sebagai sumber energi. Berbeda dengan sel bahan bakar hidrogen cair, asam posfat, maupun larutan alkaline, sel bahan bakar ini langsung memanfaatkan metanol untuk menghasilkan energi. Jadi metanol tidak perlu dirubah dahulu menjadi bentuk lain sebelum dapat menghasilkan energi. Inilah yang dimaksud dengan kata-kata “direct”.

Komponen dasar dari sel bahan bakar ini adalah dua buah elektroda (katoda dan anoda) yang dipisahkan oleh sebuah membran. Uniknya, katoda langsung bertindak sebagai katalis (elektrokatalis) yang mempercepat terjadinya reaksi perubahan metanol di anoda. Katalis yang biasanya digunakan adalah Platina (Pt).


skema DMFC

Seperti terlihat pada gambar, di sisi anoda metanol dan air diinjeksikan ke dalam batch reaksi dengan kecepatan konstan. Tumbukan dengan katalis membantu terjadi reaksi konversi metanol secara katalitik menjadi proton, CO2 dan elektron. Gas CO2 di keluarkan dari sistem sementara proton bergerak menyeberangi membran menuju katoda yang kemudian bereaksi dengan oksigen menghasilkan air. Tumpukan elektron di anoda menghasilkan beda potensial yang memaksa elektron dari reaksi konversi tersebut mengalir dalam sebuah sirkuit arus, dipakai sebagai arus searah oleh peralatan elektronik, kemudian sampai di katoda sehingga menyempurnakan reaksi pembentukan molekul air. Jelas terlihat di sini, limbah yang dihasilkan dari bahan bakar ini adalah air dan gas CO2 dalam jumlah yang kecil.

Kelebihan lain dalam proses sel bahan bakar metanol ini adalah efisiensi energinya yang cukup tinggi (melebihi 60%) serta panas yang dihasilkan akibat proses reaksi sangat kecil sekali. Dua faktor ini sangat penting dalam pemakaian peralatan elektronik untuk jangka waktu yang lama. Panas yang kecil menjamin keamanan dan kenyamanan pengguna selama pemakaian.

Membran penukar proton dalam DMFC memegang fungsi utama dalam efisiensi energi sel. Membran yang umum digunakan adalah Nafion? ,dibuat oleh Dupont, pemegang merk dagang nilon dan teflon yang berpusat di Amerika. Perusahaan ini merupakan produsen bahan kimia terbesar kedua di dunia dengan 60.000 karyawan.


Nafion (asam poliperfluoro sulfonat ionomer)
Nafion tergolong dalam ionomer. Ionomer berarti polimer yang memiliki sifat-sifat ionik. Monomer dari senyawa ini terdiri atas kerangka fluorokarbon yang bersifat hidrofobik dan gugus terminal berupa sulfonat yang bersifat hidrofilik. Gugus sulfonat merupakan super asam, menjamin kelangsungan transfer proton dari anoda ke katoda sementara kation dan anion lainnya tidak diizinkan lewat.

Baru-baru ini yushan yan dkk. dari University of Californias Riverside berhasil memodifikasi membran Nafion mengggunakan metoda infiltrasi. Pori-pori membran yang semula berdiameter 40 nm diperkecil menjadi 10 nm dengan cara mengisikan nanopartikel zeolit beta sintetis ke dalam pori tersebut. Pengujian selanjutnya menunjukan peningkatan permeabilitas metanol dan konduktivitas yang signifikan (hingga 40%). Semakin permeabel membrannya berarti makin sulit metanol lewat sementara proton makin mudah menyeberang H+ yang dihasilkan makin banyak sehingga daya tahan baterai lebih lama.

Begitu banyak kelebihan yang ditawarkan oleh DMFC. Dari segi efisinesi energi dan daya tahan jelas sel ini memenuhi syarat dipakai sebagai baterai alat-alat elektronik portabel. Densitas energi dari baterai juga dapat diatur sedemikian rupa sehingg daya keluarannya sesuai dengan kebutuhan alat elektronik bersangkutan. Ukuran baterai untuk sel ini bisa dibuat sangat kecil sehingga tidak jauh berbeda dengan baterai konvensional yang telah ada sebelumnya seperti baterai ion litium.

Adanya penggunaan metanol sebagai sumber energi alternatif ikut membantu proses penghematan bahan bakar fosil. Metanol dapat diproduksi secara massal menggunakan metoda Fisher Tropsch. Secara teoritis metanol juga memungkinkan untuk disintesis secara langsung dari karbon dioksida dan air melalui proses elektrokimia.

Yang paling menarik tentu saja proses isi ulang baterai yang sangat singkat (hanya dalam hitungan menit saja). Berbeda dengan baterai yang umum sekarang, baterai DMFC tidak memerlukan arus listrik untuk pengisian ulang tetapi cukup mengisikan metanol ke dalam baterai menggunakan sebuah filler khusus. Sekejap saja baterai dapat langsung digunakan kembali jadi tidak perlu menunggu pengecasan berjam-jam, hemat listrik dan yang terpenting aman. Hebatkan!?

Saat ini DMFC sudah mulai diaplikasikan dalam berbagai bidang. Toshiba dan Samsung misalnya, telah merintis penggunaan baterai DMFC untuk produk-produk terbaru mereka. Bahkan Toshiba sudah berhasil membuat laptop berbaterai DMFC dan akan dipasarkan mulai akhir tahun 2007 ini. Konon baterai yang memakai 1 mL metanol 99,5% tersebut dapat bertahan selama 10 jam. Wah hemat banget!!. Negara-negara maju seperti Kanada, Amerika serikat dan Jepang diperkirakan akan segera menerapkan penggunaan baterai DMFC untuk instalasi sumber energi tertentu. Negara-negara ini mengeluarkan dana yang cukup besar untuk melakukan penelitian dan pengembangan teknologi DMFC termasuk produksi metanol itu sendiri. Diperkirakan dalam beberapa tahun yang akan datang DMFC sudah lazim digunakan pada semua jenis peralatan elektronik semisal pisau cukur, laptop, handphone, walkman, mesin pemotong rumput, kendaraan bermotor, kereta api ekspress bahkan sumber tenaga cadangan untuk rumah sakit, bandara, perumahan dan stasiun kereta api.

Beberapa fakta sebuah kaca



Kategori Kimia Anorganik
Beberapa fakta seputar kaca
Oleh Viko Ladelta

Kaca adalah salah satu produk industri kimia yang paling akrab dengan kehidupan kita sehari-hari. Tetapi seberapa banyakkah yang kita ketahui tentang senyawa unik ini? Inilah beberapa fakta tentang kaca.

Dipandang dari segi fisika kaca merupakan zat cair yang sangat dingin. Disebut demikian karena struktur partikel-partikel penyusunnya yang saling berjauhan seperti dalam zat cair namun dia sendiri berwujud padat. Ini terjadi akibat proses pendinginan (cooling) yang sangat cepat, sehingga partikel-partikel silika tidak “sempat” menyusun diri secara teratur. Dari segi kimia, kaca adalah gabungan dari berbagai oksida anorganik yang tidak mudah menguap , yang dihasilkan dari dekomposisi dan peleburan senyawa alkali dan alkali tanah, pasir serta berbagai penyusun lainnya. Kaca memiliki sifat-sifat yang khas dibanding dengan golongan keramik lainnya. Kekhasan sifat-sifat kaca ini terutama dipengaruhi oleh keunikan silika (SiO2) dan proses pembentukannya.

Beberapa sifat-sifat kaca secara umum adalah:
  • Padatan amorf (short range order).
  • Berwujud padat tapi susunan atom-atomnya seperti pada zat cair.
  • Tidak memiliki titik lebur yang pasti (ada range tertentu)
  • Mempunyai viskositas cukup tinggi (lebih besar dari 1012 Pa.s)
  • Transparan, tahan terhadap serangan kimia, kecuali hidrogen fluorida. Karena itulah kaca banyak dipakai untuk peralatan laboratorium.
  • Efektif sebagai isolator.
  • Mampu menahan vakum tetapi rapuh terhadap benturan.
Sebagaimana bahan-bahan yang sangat banyak digunakan dalam peradaban modern, riwayat penemuan kaca tidaklah jelas sama sekali. Salah satu rujukan yang paling tua mengenai bahan ini dibuat oleh Pliny, yang menceritakan bagaimana pedagang-pedangang phoenisia purba menemukan kaca tatkala memasak makanan. Periuk yang digunakannya secara tidak sengaja diletakkan di atas massa trona di suatu pantai. Penyatuan yang terjadi antara pasir dan alkali menarik perhatian dan orang Mesir telah berusaha menirunya. Sejak tahun 6000 atau 5000 sebelum Masehi, orang mesir telah membuat permata tiruan dari kaca dengan ketrampilan yang halus dan keindahan yang mengesankan. Kaca jendela sudah mulai disebut-sebut sejak tahun 290. Silinder kaca jendela tiup ditemukan oleh para pendeta pada abad kedua belas. Dalam abad tengah, Venesia memegang monopoli sebagai pusat industi kaca. Di jerman dan inggris, kaca baru mulai dibuat pada abad ke-16. Secara keseluruhan sebelum tahun 1900, industri ini merupakan seni yang dilengkapi oleh rumus-rumus rahasia yang dijaga ketat. Proses pembuatannya-pun bersifat empiris dan hanya berdasarkan pada pengalaman.

Pada tahun 1914, di Belgia dikembangkan proses Fourcault untuk menarik kaca plat secara kontiniu. Selama 50 tahun berikutnya para ilmuwan dan insinyur telah berhasil menciptakan berbagai modifiklasi terhadap proses penarikan kaca dengan tujuan untuk memperkecil distorsi optik kaca lembaran (kaca jendela) dan menurunkan biaya pembuatan.

Reaksi yang terjadi dalam pembuatan kaca secara ringkas adalah sebagai berikut:
Na2CO3 + aSiO2 ? Na2O.aSiO2 + CO2
CaCO3 + bSiO2 ? CaO.bSiO2 + CO2
Na2SO4 + cSiO2 + C ? Na2O.cSiO2 + SO2 + SO2 + CO

Walaupun saat ini terdapat ribuan macam formulasi kaca yang dikembangkan dalam 30 tahun terakhir ini namun gamping, silika dan soda masih merupakan bahan baku dari 90 persen kaca yang diproduksi di dunia.

Kuarsa (SiO2), salah satu bentuk polimorfi silika

Secara umum, kaca komersial dapat dikelompokkan menjadi beberapa golongan:
  1. Silika lebur. Silika lebur atau silika vitreo dibuat melalui pirolisis silikon tetraklorida pada suhu tinggi, atau dari peleburan kuarsa atau pasir murni. Secara salah kaprah, kaca ini sering disebut kaca kuarsa (quartz glass). Kaca ini mempunyai ciri-ciri nilai ekspansi rendah dan titik pelunakan tinggi. Karena itu, kaca ini mempunyai ketahanan termal lebih tinggi daripada kaca lain. Kaca ini juga sangat transparan terhadap radiasi ultraviolet. Kaca jenis inilah yang sering digunakan sebagai kuvet untuk spektrometer UV-Visible yang harganya sekitar dua jutaan per kuvet.
  2. Alkali silikat. Alkali silikat adalah satu-satunya kaca dua komponen yang secara komersial, penting. Untuk membuatnya, pasir dan soda dilebur bersama-sama, dan hasilnya disebut Natrium silikat. Larutan silikat soda juga dikenal sebagai kaca larut air (water soluble glass) banyak dipakai sebagai adhesif dalam pembuatan kotak-kotak karton gelombang serta memberi sifat tahan api.
  3. Kaca soda gamping. Kaca soda gamping (soda-lime glass) merupakan 95 persen dari semua kaca yang dihasilkan. Kaca ini digunakan untuk membuat segala macam bejana, kaca lembaran, jendela mobil dan barang pecah belah.
  4. Kaca timbal. Dengan menggunakan oksida timbal sebagai pengganti kalsium dalam campuran kaca cair, didapatlah kaca timbal (lead glass). Kaca ini sangat penting dalam bidang optik, karena mempunyai indeks refraksi dan dispersi yang tinggi. Kandungan timbalnya bisa mencapai 82% (densitas 8,0, indeks bias 2,2). Kandungan timbal inilah yang memberikan kecemerlangan pada “kaca potong” (cut glass). Kaca ini juga digunakan dalam jumlah besar untuk membuat bola lampu, lampu reklame neon, radiotron, terutama karena kaca ini mempunyai tahanan (resistance) listrik tinggi. Kaca ini juga cocok dipakai sebagai perisai radiasi nuklir.
  5. Kaca borosilikat. Kaca borosilikat biasanya mengandung 10 sampai 20% B2O3, 80% sampai 87% silika, dan kurang dari 10% Na2O. Kaca jenis ini mempunyai koefisien ekspansi termal rendah, lebih tahan terhadap kejutan dan mempunyai stabilitas kimia tinggi, serta tahanan listrik tinggi. Perabot laboratorium yang dibuat dari kaca ini dikenal dengan nama dagang pyrex. Kaca borosilikat juga digunakan sebagai isolator tegangan tinggi, pipa lensa teleskop seperti misalnya lensa 500 cm di Mt. Palomer (AS).
  6. Kaca khusus. Kaca berwarna , bersalut, opal, translusen, kaca keselamatan,fitokrom, kaca optik dan kaca keramik semuanya termasuk kaca khusus. Komposisinya berbeda-beda tergantung pada produk akhir yang diinginkan.
  7. Serat kaca (fiber glass). Serat kaca dibuat dari komposisi kaca khusus, yang tahan terhadap kondisi cuaca. Kaca ini biasanya mempunyai kandungan silika sekitar 55%, dan alkali lebih rendah.

Rekayasa Genetika

Rekayasa genetika (Ing. genetic engineering) adalah penerapan genetika dalam kehidupan sehari-hari. Pengertian ini dianggap terlalu luas karena berarti kegiatan penyilangan hewan atau tanaman untuk mendapatkan bentuk-bentuk baru yang lebih bernilai dapat dengan mudah dimasukkan, meskipun rekayasa yang dilakukan adalah rekayasa populasi (melalui seleksi). Batasan yang lebih sempit adalah penerapan genetika molekular (atau paling tidak melibatkan teknik genetika molekular) dalam kehidupan manusia.

Rekayasa genetika mendapatkan titik berat dalam dunia kedokteran dan farmasi moderen. Namun demikian, bidang gizi, veteriner, peternakan, serta agronomi juga telah melibatkan ilmu ini untuk mengembangkan bidang masing-masing.

Bioteknologi adalah cabang ilmu yang mempelajari pemanfaatan makhluk hidup (bakteri, jamur, virus, dan lain-lain) maupun produk dari makhluk hidup (enzim, alkohol) dalam proses produksi untuk menghasilkan barang dan jasa. Dewasa ini, perkembangan bioteknologi tidak hanya didasari pada biologi semata, tetapi juga pada ilmu-ilmu terapan dan murni lain, seperti biokimia, komputer, biologi molekular, mikrobiologi, genetika, kimia, matematika, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, bioteknologi adalah ilmu terapan yang menggabungkan berbagai cabang ilmu dalam proses produksi barang dan jasa.

Bioteknologi secara sederhana sudah dikenal oleh manusia sejak ribuan tahun yang lalu. Sebagai contoh, di bidang teknologi pangan adalah pembuatan bir, roti, maupun keju yang sudah dikenal sejak abad ke-19, pemuliaan tanaman untuk menghasilkan varietas-varietas baru di bidang pertanian, serta pemuliaan dan reproduksi hewan. Di bidang medis, penerapan bioteknologi di masa lalu dibuktikan antara lain dengan penemuan vaksin, antibiotik, dan insulin walaupun masih dalam jumlah yang terbatas akibat proses fermentasi yang tidak sempurna. Perubahan signifikan terjadi setelah penemuan bioreaktor oleh Louis Pasteur. Dengan alat ini, produksi antibiotik maupun vaksin dapat dilakukan secara massal.

Pada masa ini, bioteknologi berkembang sangat pesat, terutama di negara negara maju. Kemajuan ini ditandai dengan ditemukannya berbagai macam teknologi semisal rekayasa genetika, kultur jaringan, rekombinan DNA, pengembangbiakan sel induk, kloning, dan lain-lain. Teknologi ini memungkinkan kita untuk memperoleh penyembuhan penyakit-penyakit genetik maupun kronis yang belum dapat disembuhkan, seperti kanker ataupun AIDS. Penelitian di bidang pengembangan sel induk juga memungkinkan para penderita stroke ataupun penyakit lain yang mengakibatkan kehilangan atau kerusakan pada jaringan tubuh dapat sembuh seperti sediakala. Di bidang pangan, dengan menggunakan teknologi rekayasa genetika, kultur jaringan dan rekombinan DNA, dapat dihasilkan tanaman dengan sifat dan produk unggul karena mengandung zat gizi yang lebih jika dibandingkan tanaman biasa, serta juga lebih tahan terhadap hama maupun tekanan lingkungan. Penerapan bioteknologi di masa ini juga dapat dijumpai pada pelestarian lingkungan hidup dari polusi. Sebagai contoh, pada penguraian minyak bumi yang tertumpah ke laut oleh bakteri, dan penguraian zat-zat yang bersifat toksik (racun) di sungai atau laut dengan menggunakan bakteri jenis baru.

Kemajuan di bidang bioteknologi tak lepas dari berbagai kontroversi yang melingkupi perkembangan teknologinya. Sebagai contoh, teknologi kloning dan rekayasa genetika terhadap tanaman pangan mendapat kecaman dari bermacam-macam golongan.


Ini neh Hasil pencarian Kamu baca ya..!!!!